Sabtu, 01 April 2017

Bisnis Penjualan Burung Menggeliat Lagi, Tapi Kini Ramai di Online

Memandikan dan membersihkan sangkar burung kini menjadi rutinitas Safrudin (50 tahun) saban pagi. Pria yang tinggal di Beji Depok, Jawa barat, ini kembali menggeluti usaha sampingan, berdagang burung.

Ia menggeluti lagi hobi yang sekaligus sebagai usaha sampingan ini lantaran terpaksa berhenti bekerja sebagai sopir angkutan jemputan anak sekolah di Bogor, Jawa Barat. “Saya pelihara burung lagi dari pada tidak ada kerjaan,” akunya.
Safrudin memiliki puluhan burung. Salah satunya anakan burung cucak ijo yang mulai pandai berkicau. Burung itu dia beli dengan harga ratusan ribu rupiah, dan kalo sudah pandai berkicau harganya bisa mencapai jutaan.
Ia pun berharap minat warga untuk mengoleksi burung bangkit lagi. Dengan begitu ia bisa merintis lagi jual beli burung yang pernah ia tekuni beberapa tahun yang lalu.
Meningkatnya minat masyarakat untuk mengoleksi burung juga dirasakan  oleh Ketut Saputra, penangkar burung asal Pupuan, Tabanan, Bali. “Sekarang kegemaran masyarakat mengoleksi burung mulai balik lagi,” ungkapnya.
Sejatinya bisnis burung terbilang stabil karena sudah berlangsung cukup lama. Alhasil bisa tetap bertahan sepanjang masa. Selain itu, pecinta burung sebarannya sangat luas. Di beberapa daerah ada jenis burung khas yang susah berkembang biak di tempat lain.
Meski begitu, Saputra tak menampik usaha burung yang ia geluti sempat terpengaruh booming batu akik. “Harga burung sempat jatuh saat ramai batu akik. Sekarang pasar burung bergairah lagi,” ujarnya. Berawal dari hobi, Saputra sudah empat tahun terakhir ini menangkarkan beberapa jenis burung. Mulai burung langka seperti jalak Bali, murai, kacer, punglor, dan jenis burung lainnya. Cuma, menjadi penangkar burung tidak gampang. Butuh pengetahuan dan keahlian khusus plus modal yang lumayan besar.
Resiko gagal atau kematian anakan juga tinggi. “Untuk satu indukan jalak Bali saja sudah Rp 20 juta, belum pembangunan kandang, pakan, dan biaya perawatan,” bebernya.
Saputra memasarkan sebagian dari hasil tangkaran ke wilayah Bali, Lombok, dan Pulau Jawa. Menurut dia, permintaan burung anakan terutama jalak Bali paling banyak dari penggila burung di Pulau Jawa. “Prospek bisnis burung sangat menjanjikan,” aku Saputra.
Ya, bisnis burung memang sangat menggiurkan. Maklum, harga burung terkadang tidak rasional. Bahkan bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta, jika memiliki keistimewaan dan keunikan tingkat tinggi. Saputra menjual sepasang anakan jalak Bali dengan banderol Rp 10 juta, murai Rp 2,3 juta, dan punglor mulai dari Rp 800 ribu.

Penjual Daring

Burung hasil tangkaran Saputra dipasarkan melalui dua cara. Pertama, burung dijual kesesama komunitas pehobi burung. Pasalnya ia tergabung pada komunitas penangkar burung terbesar di Pulau Dewata, di bawah pengawasan Bali Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) provinsi Bali. Kedua, menjual langsung kepada konsumen. “Tapi saya lebih sering jualnya ke komunitas,” akunya.
Sesekali, ia mendapat calon pembeli via media sosial seperti facebook. Bagi Saputra, penjualan secara online sedikit banyak membantu dalam pemasaran. Facebook dan Instagram boleh menduduki urutan pertama pemasaran para pebisnis burung, terutama bagi kelas UKM karena gratis.
Bagi Febrian Akbar Prasetya, menjual burung secara daring memiliki kelebihan lantaran bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Sejak setahun lalu, pemuda asal Surabaya ini menjual burung jenis murai batu dengan memanfaatkan e-commerce marketplace. “Sebelumnya, kalau jual offline dalam sebulan hanya laku paling banyak tiga ekor. Sejak jualan online bisa 30 ekor per bulan,” sebutnya.
Febrian mengatakan, tren menjual burung lewat jalur daring seperti iklan baris di OLX mulai terasa satu tahun terakhir ini. Cara ini memudahkan pecinta burung mencari piaraan incarannya lewat iklan online. Jenis burung yang menjadi tren dalam penjualan dunia maya antara lain murai batu, kenari, cucak ijo, dan lovebird.
Diantara ketiga jenis tersebut, Febrian memilih murai batu lantaran bisa menirukan suara jenis burung lainnya. “Suaranya bisa berubah-ubah menjadi suara burung kenari, cucak ijo atau lovebird,” tuturnya yang sudah 10 tahun menekuni bisnis burung.
Harga murai batu yang ditawarkan dari mulai Rp 1.5 juta – Rp 2.5 juta. Margin yang bisa dia kantongi sekitar 30% – 50%
Namun, untuk burung cacat, selain memberi potongan harga 50%, Febrian terpaksa melepas di bawah modal. “Bisa jual Rp 500.000 tergantung kondisi, hitungannya rugi tapi daripada tidak laku,” akunya.
Menjual barang hidup lewat jalur online bukan perkara mudah. Banyak tantangan dalam proses pengiriman. Penjual bisa berujung di bui apabila burung yang dijual ilegal. Penjual juga bisa dituntut ganti rugi tinggi oleh calon pembeli lantaran burung yang dikirim tidak sesuai pesanan atau berbeda dari iklannya di internet.

sumber : http://ideusahabisnis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar